CucuPengarang Kitab "I'ânah al-Thâlibîn" yang Wafat dan Dikebumikan di Kaliwungu Kendal Sayyid Abû
Jumat 20 November 2020 | 14:30 WIB. Namanya lengkapnya ialah Sayyid Muhammad al-Bakri, sang pencipta Shalawat Fatih. Beliau merupakan salah seorang keturunan Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq, sahabat sekaligus mertua Nabi Muhammad SAW. Sayyid Bakri merupakan keturunan Abu Bakar yang tidak terlepas dari doa Rasulullah untuk Abu Bakar ketika dia
Marutoini pernah diutus oleh pemerintah militer Jepang untuk menemui Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari. Saat itu, Kiai Hasyim ditawari untuk menjadi Presiden Indonesia. Namun, ia langsung menolaknya. Pasalnya, sebagai seorang kiai, tugasnya adalah mendidik santri di pesantren. Sebetulnya, tulis Gus Salah, Jepang memang sudah mengetahui bahwa
SayyidAbu Bakar Syatha mengomentari pendapat Imam al-Subki dengan mengatakan: والمعتمد قبولها، إذ لا عبرة بقول الحسٌاب. "Menurut yang muktamad, kesaksian tersebut diterima, karena pendapat ahli hisab tidak mu'tabar (tidak masuk hitungan).". Alasan Imam al-Subki : (لان الحساب قطعي
IANAHATH-THALIBIN VOL.1. No Panggil: 2X4.12 AD- i Klasifikasi: Pengarang: Abu Bakar Ibn As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi Pengarang tambahan: Penerbit: Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyyah Bahasa: Arab ISBN: Halaman/Ukuran: hal/ Resensi: File Digital:
BeliKITAB Kuning Santri - Ianah Thalibin -Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha Terbaru July 2022. ️ 15 hari retur
7Dzp. Home/ DOWNLOAD/ DOWNLOAD KITAB I'ANAH AT-THALIBIIN LENGKAP 4 JILID KITAB HASYIYAH I'ANAH AT-THALIBIIN JUDUL HASYIAH I'ANAH AT-THALIBIIN ALA FATH AL-MU'IN PENGARANG SAYYID ABU BAKAR MUHAMMAD SYATHA AD-DIMYATI JILID 4 JILID BAHASA BAHASA ARAB FORMAT FILE PDF LINK DOWNLOAD AKTIF UNTUK DOWNLOAD SILAKAN KLIK Juz1 - Juz2 - Juz3 - Juz 4 SEMOGA BERMANFAAT
Daftar Isi Profil Sayyid Abu Bakri Syatha1. Kelahiran2. Wafat3. Mengajar di Masjidil Haram4. Karya-KaryaKelahiranAbu Bakri bin Muhammad Zainal Abidin Syatha atau yang kerap disapa dengan panggilan Sayyid Abu Bakri Syatha lahir pada tahun 1266 H/1849 M di berasal dari keluarga Syatha, yang terkenal dengan keilmuan dan ketakwaannya. Namun ia tak sempat mengenal ayahnya, karena saat ia baru berusia tiga bulan, sang ayah, Sayyid Muhammad Zainal Abidin Syatha, berpulang ke rahmatullah. Sayyid Abu Bakar Syatha merupakan seorang ulama’ Syafi’i, mengajar di Masjidil Haram di Mekah al-Mukarramah pada permulaan abad ke Bakri Syatha meninggal dunia tanggal 13 Dzulhijjah tahun 1310 H/1892 M setelah menyelesaikan ibadah haji. Usianya memang tidak panjang hanya 44 tahun menurut hitungan Hijriyyah dan kurang dari 43 tahun menurut hitungan Masehi, tetapi penuh manfaat yang sangat dirasakan urnat. Jasanya begitu besar, dan peninggalan-peninggalannya, baik karangan-karangan, murid-murid, maupun anak keturunannya, menjadi saksi tak terbantahkan atas di Masjidil HaramSayyid Abu Bakar Syatha merupakan seorang ulama’ Syafi’i, mengajar di Masjidil Haram di Mekah al-Mukarramah pada permulaan abad ke I`anah Ath-Thalibin adalah karya besar seorang tokoh ulama terkemuka Makkah abad ke-14 Hijriyyah abad ke-19 Masehi.Kitab I’anah Ath-Thalibin merupakan syarah kitab Fath Al-Mu’in. Kedua kitab ini termasuk kitab-kitab fiqih Syafi’i yang paling banyak dipelajari dan dijadikan pegangan dalam memahami dan memutuskan masalah-masalah hukum. Dalam forum-forum bahtsul-masail pengkajian masalah-masalah, kitab ini menjadi salah satu kitab yang sangat sering dikutip nash-nashnya. Kemashyoran kitab ini dapat dikatakan merata di kalangan para penganut Madzhab Syafi’i di berbagai belahan dunia Islam.
Oleh Amirul Ulum Ketika ulama Nusantara bersinggungan dengan Haramain dalam menjaring keilmuan yang bertempat di Masjidil Haram dan Masjid an-Nabawi, banyak dari santri Jawi yag memerankan kencah keilmuan di sana, yang diakui oleh banyak kalangan dari berbagai penjuru dunia. Mereka ada yang menjadi imam di Masjidil Haram, khatib, dan pengajar di dalamnya. Mereka ada yang menjadi mufti dan mengajar di madrasah-madrasah ternama seperti Madrasah al-Falah, Shaulathiyyah, dan Dar al-Ulum. Di antaranya adalah Syaikh Abdul Hamid al-Qudsi, Syaikh Mahfudz al-Termasi, Sayyid Ali al-Banjari, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Keempat ulama ini sangat akrab dengan Marga Syatha, seperti Sayyid Umar Syatha, Sayyid Ustman Syatha, dan Sayyid Abu Bakar Syatha dalam istilah Kiai Maimoen Zubair sering disebut dengan Sayyid Bakri Syatha. Mereka adalah santri andalan Marga Syatha yang mempunyai prestasi gemilang. Bahkan ada kalangan Jawi yang diambil menantu oleh Marga Syatha, yaitu Syaikh Abdussyakur al-Sirbawi diambil menantu oleh Syaikh Muhammad Zainal Abidin Syatha, ayah dari Syaikh Abu Bakar Syatha.[1] Selain keempat ulama di atas, masih banyak ulama Jawa yang mempunyai jaringan keilmuan dengan Marga Syatha, baik sebagai sahabat maupun murid. Marga Syatha dikenal akrab dengan santri Jawi. Keakrabannya tidak hanya ketika menjalani dirasah di Haramain, namun lebih daripada itu. Seperti halnya Sayyid Ustman Syatha, yang sangat perhatian dengan dakwah santri-santrinya yang sudah berkiprah di Nusantara. Ketika Sayyid Ustman Syatha berkunjung ke Sumatra Barat, ia sempat mengunjungi daerah Minangkabau, tempat di mana salah satu murid andalannya, yaitu Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Waktu itu, al-Minangkabawi sedang dilema, apakah harus melanjutkan dirasahnya ke Haramain untuk kesekian kalinya atau cukup dengan keilmuan yang didapatkan yang kemudian diabdikan di tengah masyarakatnya. Orang tuanya sangat mengharapkan agar al-Minangkabawi tidak usah ke Haramain lagi. Mereka merasa sangat kesepian jika ia pergi lagi. Namun, setelah keluarganya dinasehati oleh Sayyid Ustman yang intinya bahwa al-Minangkabawi ini kelak akan menjadi sinar bagi bangsanya jika ia melanjutkan dirasahnya dan berkiprah di Haramain. Ia akan menjadi cahaya bagi umat. Apa yang diucapkan oleh Sayyid Ustman Syatha ini menjadi sebuah kenyataan. Al-Minangkabawi prestasinya sungguh membanggakan bangsanya. Ia satu-satunya ulama Nusantara yang pernah menjadi Mufti Mazhab Syafi’i di Hijaz. Selain itu, ia juga seorang khatib, imam, dan pengajar di Masjidil Haram. Karena antara santri Jawi dengan Marga Syatha sudah terjalin keakraban, maka tidak mengherankan jika Marga Syatha saat hijrah atau berkunjung ke Nusantara untuk berdakwah, maka mereka disambut dengan antusias seperti Sayyid Shadaqah ibn Abdullah, Sayyid Hisyam Syatha, dan Sayyid Hamzah Syatha. Untuk nama yang terakhir ini, yakni Sayyid Hamzah Syatha, terbilang masih keponakan dari Sayyid Bakri Syatha, pengarang Kitab i’ânatu al-Thâlibin, sebuah kitab yang masyhur dan menjadi rujukan ulama Nusantara ketika hendak mempelajari kajian Mazhab Imam Syafi’i. Sayyid Hamzah Syatha hijrah ke Nusantara disebabkan Haramain sedang dalam kondisi genting. kelompok Wahabi telah mengadakan kudeta kepada Syarief Makkah pada 1924 M. Dengan dikuasainya Haramain oleh kelompok Wahabi, maka banyak ulama Sunni yang mendapatkan perlakuan kurang baik, sehingga hal ini menyebabkan mereka banyak yang hijrah meninggalkan Haramain, seperti Syaikh Ibnu Maya’ba guru Kiai Zubair Dahlan yang hijrah ke Mesir dan Sayyid Hamzah Syatha yang hijrah ke Sedan, Rembang. Sebelum menyebarkan agama Islam di Sedan, ia sempat mukim di Bogor, Jawa Barat dan Malang, Jawa Timur. Sayyid Hamzah Syatha hijrah ke Sedan ditemani oleh sahabatnya, Kiai Abdul Hamid. Sayyid Hamzah Syatha ini dikenal sebagai ulama yang tawaduk dan dermawan. Ia sering merdarmakan sebagian hartanya untuk membangun masjid atau tempat ibadah. Menurut sebuah catatan, masjid yang berdiri berkah sumbangsihnya ada sekitar Sayyid Hamzah Syatha dijalani untuk amal kebajikan, seperti melanggengkan membaca al-Qur’an dan mulang ngaji, khususnya di Masjid Jami’ Sedan yang sekarang pengajiannya diteruskan oleh Kiai Haizul Ma’ali, salah satu santri Kiai Zubair Dahlan. Ia sangat menghormati orang alim. Salah satu ulama alim berdarah Sedan yang sangat ia segani adalah Kiai Abdusy Syakur al-Swidangi, ayah Kiai Abul Fadhal Senori. Karena jasanya yang begitu besar bagi persebaran agama Islam ala Ahlissunnah wa al-Jamaah di Sedan, Rembang, maka tidak mengherankan jika acara haul Sayyid Hamzah Syatha ramai dikunjungi peziarah, yang bukan hanya dari wilayah Sedan saja. Ia dihauli setiap tanggal 23 Muharram. Ia wafat pada tahun 1940 M. [] NB Tulisan ini dikutip dari buku Kebangkitan Ulama Rembang Sumbangsih untuk Nusantara & Dunia Islam karya Amirul Ulum [1] Biografi Syaikh Abu Bakar Syatha ditulis oleh santrinya yang berasal dari Nusantara Palembang yaitu Syaikh Aman Khatib al-Palimbani.
.Makam Sayyid Bakur cucu Sayyid Abu Bakar Syatha. Risalah Rihlah Kendal Jawa Tengah 1 Sayyid Bakûr b. Ahmad b. Abû Bakar Syathâ al-Dimyâthî al-Makkî w. 1965 Cucu Pengarang Kitab “I’ânah al-Thâlibîn”. Beliau wafat dan dikebumikan di Kaliwungu Jawa Tengah. Sayyid Abû Bakar b. Muhammad Syathâ al-Dimyâthî al-Makkî, atau yang dikenal dengan nama Sayyid Bakrî Syathâ w. 1310 H/ 1890 M adalah seorang ulama besar dunia Islam yang mengajar di Masjidil Haram, Makkah. Sosoknya terkenal sebagai pengarang kitab “Hâsyiah I’ânah al-Thâlibîn alâ Syarh Fath al-Mu’în” sekaligus sebagai mahaguru ulama Nusantara yang belajar dan bermukim di kota suci Makkah pada akhir abad ke-19 M. Kitab “I’ânah al-Thâlibîn” karangan Sayyid Bakrî Syathâ berisi kajian dalam bidang ilmu fikih madzhab Syafi’i. Di lingkungan lembagan pendidikan Islam tradisional di Nusantara pesantren, karya tersebut hingga saat ini masih dikaji dan dijadikan bahan rujukan. Ketika Snouck Hurgronje berada di Makkah pada tahun 1885, ia sempat berjumpa dengan sosok Sayyid Bakrî Syathâ sebagai salah satu ulama besar yang sangat populer di Makkah. Forum intelektual dan kelas pengajiannya senantiasa dipenuhi oleh para pelajar yang haus akan ilmu pengetahuan. Di Makkah, Sayyid Bakrî Syathâ juga memiliki keistimewaan dan kedekatan hubungan dengan para mukimin asal Nusantara. Di antara salah satu ulama asal Nusantara yang menjadi murid kesayangan Sayyid Bakrî Syathâ adalah Syaikh Mahfuzh Tremas w. 1920. Kedekatan hubungan antara sosok Sayyid Bakrî Syathâ dengan para ulama dan pelajar Nusantara di Makkah dapat terbaca dalam dua buah karya intelektualnya, yaitu “I’ânah al-Thâlibîn” dan “al-Durar al-Bahiyyah”. Dalam kitab “I’ânah al-Thâlibîn”, terdapat sebuah taqrîzh semacam endorsement yang ditulis oleh salah satu muridnya yang berasal dari Nusantara, yaitu Syaikh Ahmad Patani w. 1908. Sementara dalam kitab “al-Durar al-Bahiyyah”, terdapat sebuah taqrîzh yang ditulis oleh seorang murid Nusantara lainnya, yaitu Syaikh Muhammad Azhari Palembang w. 1938. Salah satu cucu Sayyid Bakrî Syathâ ternyata ada yang berhijrah dari Makkah ke Nusantara pada awal abad ke-20 M. Cucu tersebut bernama Sayyid Bakûr Abû Bakar b. Ahmad b. Bakrî Abû Bakar Syathâ al-Dimyathî yang pada akhir hayatnya bermukim di Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah hingga wafat dan dimakamkan di sana pada tahun 1385 Hijri 1965 Masehi. Makam Sayyid Bakûr Syathâ terletak di kompleks pemakaman Kiyai Asy’ari Kaluwungu Kiyai Guru yang wafat pada awal abad ke-19 M. Di samping makamnya, terdapat pula makam istrinya yang bernama Sayyidah Fathimah bt. Alî al-Jufrî w. 1989, juga anaknya yang bernama Sayyid Ahmad b. Bakûr Syathâ w. 2012. Saya mendapatkan sedikit tentang jejak sejarah sosok Syaikh Bakûr Syathâ dalam manuskrip kitab berjudul “Minhah al-Hannân fî Tarjamah Ibn Abd al-Mannân” karya KH. Abu Choir b. Abdul Mannan Kaliwungu w. 1977. Dalam manuskrip kitab tersebut disebutkan, jika Sayyid Bakûr Syathâ adalah salah satu dari guru KH. Abu Choir Kaliwungu. KH. Abu Choir menyebut dirinya belajar kepada Sayyid Bakûr Syathâ dan mendapatkan ijâzah atas tiga buah periwayatan kitab, yaitu kitab “I’ânah al-Thâlibîn”, “al-Sirr al-Jalîl”, dan “al-Atâqah al-Kubrâ”. Tertulis di sana ومنهم السيد أبو بكر المشهور عند الناس بالسيد بكور. طلبت منه أن يجيزني إجازة عامة بما احتوى عليه إعانة الطالبين على فتح المعين. فأجازني عن والده السيد أحمد عن جده السيد أبي بكر محمد شطا الدمياطي المؤلف Di antara guru-guruku adalah Sayyid Abû Bakar yang terkenal di antara orang-orang dengan sebutan Sayyid Bakûr. Aku meminta kepadanya untuk memberikanku ijâzah âmmah atas apa yang termuat dalam kitab I’ânah al-Thâlibîn [Hâsyiah] alâ [Syarh] Fath al-Mu’în. Maka beliau pun memberiku ijâzah yang ia riwayatkan dari ayahnya, yaitu Sayyid Ahmad, dari kakeknya, yaitu Sayyid Abû Bakar [Bakrî] Syathâ al-Dimyâthî sang pengarang KH. Abu Choir dalam manuskrip karyanya yang berjudul “Minhah al-Mannân” itu juga menuliskan titimangsa wafatnya Sayyid Bakûr Syathâ, juga letak pusara makamnya. Tertulis di sana وتوفى السيد أبو بكر الشهير بباكور بن السيد أحمد بن صاحب إعانة الطالبين السيد البكري شطا ليلة الاثنين واكي العاشرة من ذي الحجة ليلة عيد الأضحى سنة 1384 هـ / 12 أفريل 1965 م. ودفن بجانب الغرب من ضريح الولي الصالح كياهي أشعري الشهير بكياهي كورو كالي وغو Telah wafat Sayyid Abû Bakar yang terkenal dengan nama Bâkûr b. Ahmad b. pengarang kitab I’ânah al-Thâlibîn yaitu Sayyid Bakrî Syathâ, pada malam Senin Wage, 10 dzulhijjah [malam Idul Adha] tahun 1384 Hijri atau 12 April 1965 Masehi. Jasad beliau dimakamkan di sisi sebelah barat dari makam seorang wali yang salih, yaitu Kiyai Asy’ari yang terkenal dengan julukan Kiyai Guru Kaliwungu Sayyid Bakûr Syathâ yang wafat di Kaliwungu Jawa Tengah ini memiliki saudara kandung yang wafat di Makkah, yaitu Sayyid Muhammad b. Ahmad b. Bakrî Syathâ w. 1980. Dalam artikel berjudul “al-Sayyid Muhammad bin Ahmad bin Bakrî Syathâ Awwal Su’ûdî Hâshil alâ al-Duktûrâh” yang dimuat dalam portal al-Makkâwî bertanggal 01/06/2011, disebutkan jika Sayyid Muhammad b. Ahmad b. Bakrî Syathâ adalah warganegara Saudi Arabia yang pertamakali meraih gelar akademik doktoral. Sayyid Muhammad b. Ahmad b. Bakrî Syathâ disebutkan lahir di Makkah tahun 1323 H 1905 M dan wafat di kota suci itu pada tahun 1401 H 1980 M. Beliau menempuh pendidikan di rumahnya, di mana belajar kepada ayahnya, yaitu Sayyid Ahmad b. Bakrî Syathâ, juga kepada pamannya, yaitu Sayyid Shâlih b. Bakrî Syathâ. Selain kepada keduanya, Sayyid Muhammad b. Ahmad b. Bakrî Syathâ juga belajar kepada ulama-ulama lainnya yang mengajar di Masjidil Haram, seperti Syaikh Ahmad b. Abdullâh Nâzhirîn, Syaikh Îsâ b. Muhammad Rawwâs, Syaikh Abdullâh b. Ibrâhîm Hammûdah, Syaikh Muhammad al-Arabî al-Tabbânî al-Jazâ’irî dan lain-lain. Sayyid Muhammad b. Ahmad b. Bakrî Syathâ juga tercatat belajar hingga lulus dari Madrasah al-Falâh di Makkah. Beliau kemudian disebut pergi melawat ke Nusantara dan bermukim di Kedah Malaysia selama beberapa tahun lamanya. Setelahnya, beliau melanjutkan pendidikannya ke Al-Azhar di Mesir pada jurusan Hukum Islam, serta selesai pada jenjang doktoral pada jurusan Tarbiyyah dan Adab. Selintas biografi Sayyid Muhammad b. Ahmad b. Bakrî Syathâ di atas, utamanya semenjak masa kanak-kanak hingga dewasanya, bias menjadi bahan perbandingan untuk melacak jejak sejarah hidup saudara kandungnya, yaitu Sayyid Bakûr b. Ahmad b. Bakrî Syathâ yang wafat di Kaliwungu Jawa Tengah. Selain Sayyid Bakûr Syathâ cucu sang pengarang kitab I’ânah al-Thâlibîn, terdapat pula beberapa ulama Makkah lainnya yang berhijrah, menetap hingga wafat di Kendal pada kurun masa yang tak jauh berbeda. Di antaranya adalah Sayyid Hasan b. Shadaqah b. Zainî Dahlân w. 1921, keponakan dari Sayyid Ahmad b. Zainî Dahlân w. 1885, mufti madzhab Syafi’i di Makkah yang juga mahaguru ulama Nusantara pada zamannya. Selain itu, ada juga Syaikh Ismail Abû Thâhir al-Kûrânî w.?, cicit dari Syaikh Ibrâhîm al-Kûrânî w. 1690. Juga di Kendal, terdapat seorang ulama besar Nusantara yang juga menjadi murid Sayyid Bakrî Syathâ, yaitu Syaikh Abû Hâmid b. al-Qâdhî Ilyâs al-Qandalî al-Jâwî, atau yang dikenal dengan Mbah Wali Hadi w. 1925. Beliau tercatat mengarang sebuah karya dalam bidang ilmu morfologi Arab ilmu sharaf berjudul “al-Salsal al-Madkhal fî Ilm al-Sharaf”. Karya tersebut diselesaikan pada tahun 1884 M dan dicetak pada masa yang sama oleh percetakan al-Mîriyyah di Makkah Mathba’ah al-Mîriyyah al-Kâ’inah bi Makkah al-Mahmiyyah. Pada hari Rabu 24/3 kemarin, saya berkesempatan menziarahi makam Sayyid Bakûr Syathâ ini di Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah. Ziarah ini ditemani oleh Ustadz Mabda Dzikara dari Sanadmedia, juga Gus Syafiq Ainurridlo dan Gus Tubagus Bakri cucu KH. Abu Choir dari KOPIKUMANIS Komunitas Pecinta Karya Ulama dan Manuskrip Kaliwungu, Kiyai Ahmad Qusyairi Ciawi Bogor, Kiyai Asep Abdul Qodir Jaelani Bogor dan lain-lain. نفعنا الله تعالى بهم وبعلومهم في الدارين آمين Wallahu a’lam. Kaliwungu-Bogor, Rajab 1442 H/Februari 2021 M
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Sayyid Abu Bakar seorang ulama besar yang bermukim di Makkah, sekaligus gurunya ulama-ulama berdarah Melayu, India, Pakistan, dan sebagian besar orang Makkah dan Madinah. Setiap santri asal Indonesia yang belajar di Makkah, pasti mengenal beliau. Beliau menjadi rujukan ulama-ulama Jawa, karena memang kemampuan ilmu dan ibadahnya benar-benar mumpuni. Beliau sangat terkenal di jagad ilmu agama, seperti; hadis, tafsir, serta fikih dan tasawuf. Nama lengkap beliau ialah Sayyid Bakri Ibnul `Arif billah As-Sayyid Muhammad Syata Al-Syafii. Tambahan Al-Syafii mengisyaratkan bahwa beliau adalah bermadhab Imam Syafii. Beliau salah satu ulama besar bermadhab’ Syafi`i yang mengajar di Makkah Masjidilharam pada Masjidil pada awal abad ke XIV. Seorang ulama pada abada itu, tidak hanya pandai mengjar di Masjid, tetapi juga banyak menulis dan berkarya. Salah satu karya beliau ialah ’ "I’anatut Talibin Syarah Fathu al-Muin" kitab fikih madhab al-Syafii. Kitab ini sangat populer dikalangan santr-santri pondok pesantren di Indonesia, Malaysia, Brunai, dan Fatani Thailand. Santri-santri beliau sebagian besar berasal dari Jawa. Sebab, sebagian besar muslim jawa pada waktu itu biasanya setelah menunaikan ibadah haji tidak langsung pulan, tetapi memperdalam Ilmu agama di Makkah. Salah satu dari santri itu ialah Mohammad Darwis. Setelah menunaikan ibadah haji, dan ngaji di Makkah, Mohammad Darwis kemudian di ganti namanya oleh Sayyid Abu Bakar Shata denagn ’Ahmad Dahlan’’, hingga terkenal KH Ahmad Dahlan Sang pendiri Muhammadiyah. Secara umum guru-guru KH Ahmad Dahlan bemadhab Imam Syafii, wajar jika kemudian Buya Hamka ketika ditanya apa Madhabnya orang Indonesia, beliau menjawab ’Al-Syafii’’. Tidak heran jika para ulama dan tokoh Muhammadiyah selalu membaca Qunut setiap sholat subuh, karena madhabnya adalah Syafii. Lihat Humaniora Selengkapnya
sayyid abu bakar syatha